Gowes Menyusuri Flores: Tersangkut Kopi Juria (#7)

Bahkan di Flores, kopi juria tak mudah dijumpai di kedai-kedai kopi. Yang selalu tersedia adalah kopi dari Manggarai dan Bajawa.

***

Di satu kedai di Pantai Kota Raja, Ende, kami datang dengan niat mau makan siang dengan menu masakan lokal sebelum bertolak menuju Kelimutu. Kami sempat melihat keberhasilannya di google maps. Rupanya, masakan untuk hari itu belum siap. tapi, untungnya, saya melihat ada toples berisi biji kopi dengan label "juria".

Kami memutuskan untuk mengopi saja, sambil membuka durian yang Yosep beli sehari sebelumnya, selepas makan siang, di Pasar Boawae, 84 kilometer sebelum Ende. "Rasanya, makan durian ini masih cukup buat mengganjal perut sampai Kelimutu nanti," katanya.

Saya ragu; saya lalu juga memesan pisang goreng, di samping seduhan kopi juria--sengaja saya memilih metode khas Indonesia: tubruk.

Kopi Juria. Foto: Purwanto Setiadi

Saya belum pernah merasakan kopi juria sebelumnya; Saya hanya pernah mendengar tentang keberadaannya. Saya diingatkan oleh respons seseorang di satu grup whatsapp, grup yang menghimpun para pekerja bersepeda, terhadap postingan saya saat kami mampir di kedai kopi di Bajawa. Dalam responsnya itu dia menderetkan daftar kopi arabika di Indonesia yang tergolong jarang ada. Kopi juria termasuk di antaranya.

Bahkan di Flores, kopi juria tak mudah dijumpai di kedai-kedai kopi. Yang selalu tersedia adalah kopi dari Manggarai dan Bajawa. Kelangkaan kopi juria berkaitan dengan karakteristik pohonnya.

Menurut sejarahnya, kopi juria dibawa masuk Flores oleh Belanda pada 1937. Ia menjadi jenis ketiga dari kopi yang dibudidayakan di Flores--mula-mula adalah kopi arabika, pada 1800-an, lalu robusta, mulai 1913. Seperti halnya arabika yellow caturra yang ditanam belakangan (konon, tahunnya adalah 1990-an), arabika juria, yang mulai ditanam pada 1937, berbeda dibandingkan dengan arabika pada umumnya.

Dari aspek cita rasa, banyak yang berpendapat kopi juria hampir sama dengan kopi yellow caturra, yakni mengandung jejak rasa sitrus dengan bodi cenderung medium, serta sensasi smooth. Yang membedakan: kopi juria menguarkan aroma bunga-bungaan.

Saya tanya kepada barista kedai di Pantai Raja tersebut dari mana stok di kedainya berasal, dia bilang hanya ada satu tempat: "Kopi ini hanya ditanam di Desa Colol, Kabupaten Manggarai Timur," katanya. Di kebun-kebun petani di desa dengan ketinggian 1.100-1.200 mdpl itu panen hanya terjadi sekali dalam dua tahun. pohon kopi juria biasanya menggugurkan daun-daunnya saat buah kopi menuju matang.

Ddengan kata lain, saya beruntung dapat berserobok dengan kopi itu, di tempat yang seronok pula.

Seduhan pesanan saya tiba di meja dalam cangkir yang dimasukkan ke dalam potongan batang pohon bambu yang ukuran diameternya pas dengan ukuran cangkir. Ppada batang bambu itu ada cukilan nama dan logo kedainya. butir-butir gilingan biji kopi terlihat seperti mau meluap.

"Dibiarkan dulu selama empat menit, pak. sesudah itu kopinya baru bisa dibenamkan," kata si barista, yang mengantarkan pesanan kami ke meja yang menghadap ke Laut Sawu di luar kedai.

Saya tak yakin apakah durian memang pasangan yang pas untuk mengopi, dan terutama dengan kopi juria. Atau, apakah pemandangan pulau-pulau di kejauhan dengan permukaan laut yang kalem ikut menentukan sensasinya. Tapi siang itu, setelah hampir seminggu di jalan dan tak sepenuhnya bisa memenuhi kebutuhan doping kafein dengan layak, bukan saja kopi pesanan saya memang luar biasa, melainkan "dorongan"-nya pun tak kalah mutunya--durian dari kawasan Mauponggo, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, itu bersaing secara rasa dengan...durian monthong. "Bahkan lebih enak," kata yosep.

Dalam perjalanan menuju Kelimutu dan ketika kemudian, setelah melihat danau, turun ke desa tempat kami mencari penginapan, rasa yang tertinggal dari kopi juria itu seperti masih nyangkut di mulut.